BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah hadits maudhu berawal dari pertentangan politik yang terjadi pada
masa khalifah Ali Bin Abi Thalib yang berujung pada pembuatan hadits-hadits
palsu yang tujuannya adalah untuk mengalahkan lawan dan mempengaruhi
orang-orang tertentu. Akibat perpecahan politik ini, hampir
setiap golongan membuat hadits maudhu untuk memperkuat golongannya
masing-masing.
Ulumul hadits merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang komplek dan sangat menarik untuk diperbincangkan, salah
satuanya adalah mengenai hadits maudhu yang menimbulkan kontrofersi dalam
keberadaannya. Suatu pihak menanggapnya dengan apa adanya, ada juga yang
menanggapinya dengan beberapa pertimbangan dan catatan, bahkan ada pihak yang
menolaknya secara langsung.
Kemudian kami sebagai Mahasiswa yang
dituntut untuk mengkaji dan memahami polemik problematika umat yang salah
satunya ditimbulkan dari adanya hadits maudhu. Oleh karena itu kami sangat
tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang masalah tersebut, dan motivasi lain
tentunya tidak terlepas dari suatu bentuk usaha kami dalam perbaikan makalah
ulumul hadits ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksyud dengan hadits maudhu?
2. Mengapa
muncul hadits maudhu?
3. Bagaimana
realitas hadis maudhu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Maudhu
Majid
Khon (2005:167) menyatakan bahwa pengertian hadits maudhu secara etimologi
(bahasa) merupakan bentuk isim maf’ul dari wadha’a. kata tersebut memiliki
makna menggugurkan meninggalkan, dan mengada-ada. Sedangkan menurut Muhammad
Ahmad, dkk (2000:152) hadits maudhu berarti hadits palsu atau hadits yang
dibuat-buat. Jadi secara bahasa hadits maudhu dapat kami simpulkan yaitu hadits
palsu yang diada-adakan atau dibuat-buat.
Menurut
terminologi (istilah) hadits maudhu terdapat beberapa pengertian, diantaranya
menurut Fatchur Rohman (1974:168) hadits maudhu adalah:
وَ اْلمُخْتَلَعُ الَُْْصْنُوْعُ
اْلمَنْصُوْبُ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زُوْرًا
وَبُهْتَانًا وَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عَمْدًا
اَمْ خَطَأً
“Hadits yang dicipta serta dibuat
oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan kepada rosulluloh saw.
secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja, maupun tidak “.
Pengertian
diatas sejalan dengan pendapat Majid Khon, dkk.
(2005:167) hadits maudhu adalah “sesuatu yang dinisbahkan kepada
Rasulullah saw. secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan,
beliau kerjakan, ataupun beliau
tetepkan”. Sedangkan menurut Munzier Suparta (2006:176) memiliki pengertian
yang sama persis dengan Fatchur Rohman. Kemudian menurut Mudasir (2007:170)
dalam bukunya “Ilmu Hadits” menyatakan bahwa hadits maudhu adalah “hadits yang
disandarkan kepada rosullulloh saw. secara dibuat-buat dan dusta padahal beliau tidak mengatakan dan tidak
memperbuatnya. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits
maudhu adalah hadits yang dibuat-buat”. Selanjutnya pengertian hadits maudhu
menurut. Endang Soetari (2005:132) hadits maudhu adalah hadits yang matannya
idhafah pada selain Alloh swt. Dan
menurut Muhammad Ahmad, dkk. (2000:152) menyatakan bahwa para ulama memberikan
batasan hadits maudhu yaitu hadits yang bukan hadits Rasulullah saw. tetapi
disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara
keliru tanpa sengaja.
Dari
berbagai pengertian diatas kami menyimpulkan bahwa yang dimaksud hadits maudhu
adalah hadits palsu yang dibuat oleh seseorang dan disandarkan kepada
Rasulullah saw. secara dusta, padahal pada kenyataannya hadits tersebut jelas
bukan berasal dari perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. juga apabila dilihat
dari segi matannya tidak idhafah kepada Allah swt.
B. Sebab Kemunculan Hadis Maudhu
Atang
Abdul Hakim, dkk. dalam bukunya ”Metodologi Studi Islam.“ Umat Islam sepakat
bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Maka dari
itu kita harus mempelajarinya supaya tidak timbul kesalah pahaman apalagi yang menjurus kepada permasalahan hadits maudhu.
Muhammad
Ahmad, dkk. Dalam bukunya yang berjudul “Ulumul Hadits” menyatakan bahwa hadits
maudhu merupakan seburuk-buruk hadits daif. Siapa yang mengetahui kepalsuan
suatu hadits, maka ia tidak boleh meriwayatkannya dengan menyandarkan kepada
Rasululullah saw, kecuali dengan maksud menjelaskan kepalsuannya. Oleh karena
itu menurut hemat tim penulis kita harus mengetahui sejarah latar belakang
kemunculan hadits maudhu tersebut supaya kita mengetahui motif-motif apa saja
yang mendorong mereka untuk membuatnya.
Nurcholish
Majid, dalam bukunya ”Khazanah Intelektual Islam” (1984:11) mengatakan bahwa
pertentangan yang semakin memuncak antara kelompok Ali di Madinah dan Mu’awiyah
di Damaskus terjadi peperangan yang tidak bisa terelakan lagi. Menurut hemat
tim penulis kejadian tersebut merupakan salah satu latar belakang terjadinya
pembuatan hadits maudhu juga.
Menurut Mudasir (2008:173) dalam
bukunya yang berjudul “Ilmu Hadits” menyatakan bahwa berdasarkan data sejarah,
pemalsuan hadits tidak hanya lakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga
dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Ada
beberapa motif ( latar belakang) yang mendorong mereka membuat hadits palsu yaitu sebagai berikut:
1. Pertentangan politik
Pertentangan politik ini terjadi
karena adanya perpecahan antara golongan yang satu dengan golongan yang
lainnya, dan mereka saling membela golongan yang mereka ikuti serta mencela
golongan yang lainnya. Seperti yang terjadi pada polemik pertentangan Ali dan
Muawiyah sehingga terjadi golongan syi’ah, khawariz, dan mu’awiyah yang
berujung pada pembuatan hadis palsu sebagai upaya untuk memperkuat golongannya
masing-masing.
2. Usaha kaum
zindiq
Menurut Mudasir (2008:175) kaum
zindiq adalah golongan yang membenci Islam, baik sebagai agama ataupun sebagai
dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian
melalui konfrontasu dan pemalsuan Al-Qur’an, sehingga menggunakan cara yang
paling tepat dan memungkinkan, yaitu melakukan pemalsuan hadits, dengan tujuan
menghancurkan agama islam dari dalam.
Jadi, latar belakang kaum zindiq
tersebut adalah supaya terjadi fitnah dalam islam dan akhirnya mengalami
kehancuran, sehingga merekalah yang berjaya di muka bumi ini.
3. Sikap
fanatik buta terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, dan pimpinan
Menurut Mudasir (2008:175)
menyatakan bahwa salah satu tujuan membuat hadits palsu adalah adanya sifat ego
dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok, dan
sebagainya.
Jadi sikap tersebut ini bertujuan
ingin menonjolkan atau memojokkan seseorang, bangsa, kelompok, pemimpin dan
sebagainya. Itu disebabkan karena
kebencian, bahkan balas dendam semata.
4. Mempengaruhi
kaum awam dengan kisah dan nasihat
Menurut Mudasir (2008:176) kelompok
yang melakukan pemalsuan hadits ini bertujuan untuk memperoleh simpati dari
pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya.
Jadi pada intinya mereka membuat
hadits yang disampaikan kepada yang lainnya terlalu berlebih-lebihan dengan
tujuan ingin mendapat sanjungan.
5. Perselisihan
dalam fiqih dan ilmu kalam
Menurut Mudasir (2008:176) munculnya
hadits-hadits palsu dalam masalah-masalah fiqih dan ilmu kalam ini berasal dari
para pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat
fanatik dan ingin menguatkan madzabnya masing-masing.
6. Membangkitkan
gairah beribadah, tanpa mengerti apa yang dilakukan
Menurut Mudasir (2008:177) banyak
diantara para ulama yang membuat hadits palsu dengan asumsi bahwa usahanya itu
merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah dan menjunjung tinggi agama-Nya.
Jika dilihat dari tujuannya, itu
merupakan suatu kebaikan, tetapi alangkah bijaknya jikalau kita
mempertimbangkannya bahwa hal itu bukan merupakan hadits yang datang dari
Rasulullah saw. tetapi merupaka kata-kata bijak yang dapat dijadikan motivasi
untuk meningkatkan amaliyah ibadah kita.
7. Menjilat
penguasa
Cara ini digunakan untuk menarik
simpatisan dari penguasa karena ingin mendapatkan sesuatu yang berharga seperti
yang dilakukan oleh Giyas bin Ibrahim.
Menurut Mudasir (2008:178) pada
dasarnya ada beberapa motif pembuatan hadits palsu diatas, dapat dikelompokan
sebagai berikut:
a. Ada yang
disengaja,
b. Ada yang
disengaja merusak agama,
c. Ada yang
karena merasa yakin bahwa membuat hadits palsu diperbolehkan,
d. Ada yang
karena tidak tahu gila dirinya membuat hadits palsu.
Dapat disimpulkan bahwa pada
kenyataannya mereka membuat hadits maudhu (palsu) itu mempunyai kepentingan dan
maksyud tersendiri yang motifnya berbeda-beda disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang mereka butuhkan saat itu.
C. Realitas Hadits Maudhu
1.Upaya-Upaya Para Ulama Tentang Keberadaannya Hadits Maudhu
Menurut Fathul Rahman (1974:181)
menerangkan bahwa usaha-usaha para ulama dalam memelihara sunnah dan membersihkannya
dari pemalsuan hadist, ialah:
a. Mengisnadkan
hadist
Para sahabat di awal-awal Islam, yakni sejak dari masa
Rasulullah saw. Masih hidup sampai dengan timbulnya fitnah pembunhan Khalifah
‘Utsman bin Affan r.a., saling mempercayai satu sama lain. Para tabi’in tidak
ragu-ragu menerima berita dari sahabat tentang hadist Rasulullah saw. Akan
tetapi setelah terjadi fitnah dan kaum muslimin sudah mulai berpecah-belah
dalam beberapa partai dan golongan dan mulai bertebaran pemalsan hadist-hadist
Rasulullah, maka para sahabat dan tabi’in berhati-hati sekali dalam menerima
hadist dari para rawinya.
Mulailah mereka meminta sanad kepada mereka yang
menyampaikan hadist dan akhirnya menetapkan sanad suatu hadist. Sebab sanad
bagi hadist itu adalah bagaikan nasab bagi seseorang.
Muhammad bin Sirin (seorang tabi’in yang lahir tahun
33 H., meninggal tahun 110 H.) menceritakan: “bahwa para sahabat semula
dalam menerima hadist tidak selalu menanyakan sanadnya. Akan tetapi setelah
terjadi fitnah, mereka pada meminta untk disebutkan sanadnya. Kemudian setelah
disebutkan sanadnya, ditelitinya, kalau sanad itu terdiri dari ahli sunnah,
diambilnya dan kalau sanad itu terdiri dari ahli bid’ah, ditolaknya.”
b. Meningkatkan
perlawatan mencari hadist
Mereka pada meningkatkan perlawatan mencari hadist
dari satu kota ke kota untuk menemui para sahabat yang meriwayatkan hadist. Sejak itu para penuntut hadist hanya mendengar dari para sahabat saja. Jika
ia mendapatkan hadist dari selain sahabat, dengan segera mereka mencari sahabat
Raslllah saw. untuk memperkuatnya.
Abu ‘Aliyah mengatakan bahwa ia
tidak rela kalau mendengar hadist dari sahabat Rasulllah saw. yang berada di
Bashrah, sekiranya ia tidak pergi ke Madinah untuk mendengarkan hadist tersebut
dari para sahabat yang berda disana. Demikian juga para sahabat mengadakan
perlawatan mencari hadist dari kawannya sahabat yang berada di luar daerahnya.
Misalnya sahabat Ayyub menemui sahabat ‘Uqbah bin Amir di Mesir dan sahabat
Jabir menemui sahabat Abdllah bin Anis untuk mencari suatu hadist.
c. Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits
Dalam rangka berhati-hati untuk
menerima riwayat, maka sebagian dari mereka, menumpas para pemals hadits,
melarang mereka meriwayatkan kepada penguasa.
Amir As-Sya’by pernah bertemu
dengan Abu Shalih, seorang mufassir. Lalu ditariknya telinga Abu Shalih dan
dimarahinya. Bentaknya: “celaka kamu! Kenapa kamu menafsirkan Al-Quran
padahal kamu tidak baik membacanya?”
Murrah Al-hamdany pernah
mendengar sebuah hadits dari Al-harits Al-a’war, pendukung golongan Syiah yang
banyak membuat hadits-hadits maudhu, lalu disuruhnya ia jongkok dimuka pintu
dan kemudian dibunuhnya.
d. Menjelaskan
tingkah laku rawi-rawinya
Para sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in mempelajari
biografi para rawi, tingkah lakunya, kelahirannya dan kematiannya, keadilannya,
daya ingatannya, dan kemampuan menghapalnya, untuk membedakan hadits-hadits
yang shahih dan yang palsu. Jika terdapat sipat-sipat yang tercela, mereka
beritahukan kepada orang umum.mereka mengkritik atau memuji identitas seorang
rawi hanya semata-mata takut kepada allah swt. Mereka mengambil hadits dari
seorang rawi, bukan karena takut terhadap rawi tersebut atau karena
belaskasihan. Untuk kepentingan itu, mereka lalu membuat ketentuan-ketentuan
untuk menetapkan sipat-sipat rawi yang dapat dan tidak dapat diambil, ditulis
atau diriwayatkan haditsnya.
Para rawi yang tidak boleh diambil
haditsnya, ialah:(1) orang yang mendustakan rasululloh saw.,(2) orang yang
berdusta dalam pembicaraan umum, biarpun tidak berdusta terhadap rosululloh
saw., (3) ahli bid’ah, (4) orang zindiq, fasik, pelupa, dan orang yang tidak
mengerti apa yang dia katakana.
Adapun para rawi yang ditanguhkan
periwayatannya, ialah (1) orang yang diperselisihkan tentang jarh (cacat) dan
ta’dil (keadilan)-nya, (2) orang yang banyak salahnya dari pada benarnya serta
banyak berlawanan dengan periwayatan orang tsiqah, (3) orang yang banyak lupa,
(4) pelupa karena lanjut usia, dan (5) orang yang kurang baik hapalannya.
e. Membuat
ketentuan-ketentuan umum tentang klasipikasi hadits
Mereka membuat ketentuan dan syarat-syarat bagi hadits
shahih, hasan dan dha’if.
f. Membuat
ketentan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri hadits maudhu
Mereka membuat ketentuan mengenai ciri-ciri hadits
maudhu baik ciri-ciri yang terdapat pada sanad maupun pada matannya.
2.Contoh-Contoh Hadist Maudu
Mudasir
(2008:174) contoh-contoh hadis maudhu itu dapat terbukti dari perkataan
Al-Mubarak yang mengatakan:
لِلرَّاِفضَةِ الدِّيْنُ لِاَهْلِ
اْلحَدِيْثِ وَالْكَلَامُ وَالْخَيْلُ لِاَهْلِ الرَّأْيِ وَاْلكَذِبُ
Hammad Bin
Salamah pernah meriwayatkan bahwa ada salah seorang tokoh Rafidah berkata , “Sekiranya
kami pandang baik, secara kami jadikan hadits.” Imam Syafi’i juga pernah berkata, “Saya tidak melihat pemuas hawa nafsu yang
melebihi sekte Rafidah dalam membuat hadits palsu.”
Dibawah ini adalah sebagaian dari
contoh-contoh hadis palsu (maudhu), yang Insya Allah akan dijelaskan sebagai
berikut:
1.
Hadits palsu yang dibuat oleh kaum syi’ah dan
mu’awiyah
Mudasir
(2008:174) contoh hadits maudhu golongan syi’ah dan mu’awiyah, antara lain;
يَا عَلِى! إنَّ اللهَ
غَفَرَ لَكَ وَلِذُرِّيَتِكَ وَلِوَالِدَيْكَ وَلِاَهْلِكَ وَلِشِيْعَتِكَ
وَلِمُحِبِّي شِيْطِكَ
Golongan Mu’awiyah juga membuat
hadits palsu. Berikut ini merupakan salah satu
contohnya;
اَلامُنَاءُ ثَلَاثَةٌ اَنَا
وَجِبِرْيلُ وَمُعَاوِيَةُ، اَنَْتَ مِنِّى يَا مُعَاوِيَةَ وَاَنَا مِنْكَ.
Sedangkan golongan khawarij tidak
pernah membuat hadits palsu.
Kedua hadits maudhu itu
mempertentangkan masalah pembelaan dan pencelaan antara satu kelompok kepada
kelompok yang lainnya yang motifnya adalah kepentingan politik. Ini terjadi
antara golongan Ali dan Muawiyah.
2.
Hadits
maudhu kaum zindiq
Menurut Mudasir (2008:175) Hammad bin Zaid
mengatakan, “hadits yang dibuat kaum zindiq ini berjumlah 12.000 hadits”. Salah
satu contohnya adalah:
النَّظْرُ اِلَى الْوَجْهِ
الْجَمِيْلِ صَدَقَةُ
“Melihat wajah cantik termasuk shadaqah.”
Hadits ini merupakan salah satu usaha orang-orang kafir
(kaum zindik) untuk memfitnah dan menipu orang-orang islam supaya terjebak
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat islam itu sendiri. Sehingga
mereka menyatakan bahwa melihat wanita cantik itu shadaqah, padahal jika
dilihat dari kaca mata agama kita itu merupakan suatu perbuatan dosa yang harus
dijauhi, karena dapat menimbulkan fitnah yang nyata.
3.
Hadits maudhu kaum fanatisme
Menurut Mudasir
(2008:175) contohnya golongan Ash-Syu’ubiyah yang fanatik terhadap
bangsa Persi mmengatakan,”Apabila Allah murka, Dia menurunkan wahyu dengan
bahasa Arab dan apabila senang, Dia menurunkan dalam bahasa Persi.”
Sebaliknya, orang Arab yang fanatik terhadap bahasa Persi mengatakan,” Apabila
Allah murka, Dia menurunkan wahyu dengan bahasa Persia dan apabila senang, Dia
menurunkannya dengan bahasa Arab.” Golongan yang fanatik kepada madzhab Abu
Hanifah pernah membuat hadits palsu,”Dikemudian hari akan ada seseorang
umatku yang bernama Abu Hanifah bin Nu’man, ia adalah nikmat membuat akhir bagi
umatku.” Golongan yang fanatik menentang Imam Syafi’i membuat hadits palsu,
seperti “ dikemudian hari akan ada seorang umatku Muhammad bin Idris. Ia akan
lebih menimbulkan mudarat kepada umat daripada iblis.”
Segala hal yang sudah menjadi
pegangan selalu dijadikan tolak ukur dan mengaggap apabila ada orang lain yang
bersebrangan selalu dijadikan musuh baginya. Menurut kami, boleh saja kita
berbeda paham dan golongan kemudian kita memegang salah satunya untuk dijadikan
pedoman, tetapi kita tidak boleh fanatik sengga terjadi permusuhan dikalangan
umat islam sendiri.
4.
Hadits
maudhu kisah dan nasihat bagi kaum awam
Menurut Mudasir (2008:176-177) kelompok yang melakukan pemalsuan hadits
ini bertujuan umtuk memperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum
melihat kemampuannya. Hadits yang mereka katakan terlalu berlebih-lebihan.
Contoh dapat dilihat pada hadits berikut:
مَنْ قَالَ
لااِلَهَ اِلا اللهُ مِنْ كُلِّ كَلِمَةٍ طَائِرًا مَنْقَارُهُ مِنْ ذَهَبٍ
وَرِيْشُهُ مِنْ مَرْجُانٍ
Bahkan diantara mereka ada yang
menafsirkan ayat berikut ini:
عَسَى اَنّ
يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُوْدًا
Dengan artinya: “Nabi duduk bersampingan dengan Alloh diatas arsy-Nya.” Al-hadits dikemukakan oleh para penyebar kisah, dengan ungkapan:
مَا اَفْسَدَ
عَلَى النَّاسِ حَدِيْثُهُمْ اِلا اْلقِصَاصُ وَقَالَ اَيْضًا : مَا اَمَاتَ اْلعِلْمُ اِلا اْلقِصَاصُ
Diantara hadits-hadts palsu lain,
adalah:
a)
“Siapa yang
mengangkat kefua tangannya dalam salat, maka shalatnya tidak sah.”
b)
“Jibril
menjadi imamku dalam solat di ka’bah, ia (jibril) membaca basmalah dengan
menyaring.”
c)
“Siapa yang
mengatakan Al-Quran makhluk, niscaya ia telah kufur kepada Allah swt.” dan sebagainya.
Banyak di antara ulama yang membuat
hadits palsu dengan asumsi bahwa uasahnya itu merupakan upaya mendekatkan diri
kepada allah swt. dan menjungjung tinggi agama-Nya. Mereka mengatakn, “Kami
berdosa semata-mata untuk menjungjung tinggi nama Rasulullah saw. dan bukan
sebaliknya.” Nuh Bin Abi Maryam telah membuat hadits berkenaan dengan
fadilah membaca surat-surat tertentu dalam Al-Quran.
Ghulam Al-khalil (dikenal ahli
Zuhud) membuat hadits tentang keutamaan wirid dengan maksud memperhalus qalbu
manusia. Dalam kitab tafsir Ats-tsalabi, Zamakhsyari, dan Baidawi terhadap
banyak hadits palsu.begitu juga dalam kitab Ihya Ulum Ad-din.
5.
Hadits
maudhu yang berisi tentang menjilat penguasa
Menurut Mudasir
(2008:177) Giyas bin Ibrahim merupakan tokoh yang banyak ditulis dalam
kitab hadits sebagai pemalsu hadits tentang “perlombaan”. Matan aslinya
berbunyi:
لاسَبَقَ اِلا فِىْ نَصْلٍ اَوْ خُفٍ
Kemudian ia menambahnya dengan kata اَوْ جُنَاحٌ
diakhir hadits agar diberi hadiah atau mendapat simpatik dari khalifah
Al-Mahdy.
Contoh hadits maudhu ini menjelaskan ketamakan
seseorang kepada harta, sehingga membuat hadits palsu demi untuk meraya dan
mendapatkannya.
3. Kitab-Kitab hadits Maudhu
Menurut situs http://www.ikhwan-interaktif.com/islam,
kitab-kitab yang secara khusus menjelaskan hadits-hadits dhaif dan palsu,
misalnya :
1. Kitab Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits
a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin karya Syaikh Muhammad bin al-Basyir bin
Zhafir al-Azhari asy-Syafi’i (w. 1328 H) (Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah,
1999), hal. 109; dan
2. Kitab Bukan Sabda Nabi! (Laysa min Qaul an-nabiy
SAW) karya Muhammad Fuad Syakir, diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto,
(Semarang : Pustaka Zaman, 2005), hal. 226.
Kitab-kitab itu mudah dijangkau dan dipelajari oleh
para pemula dalam ilmu hadits di Indonesia, sebelum menelaah kitab-kitab khusus
lainnya tentang hadits-hadits palsu, seperti :
1. Kitab Al-Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (w. 597
H);
2. Kitab Al-Ala`i al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits
Al-Maudhu’ah karya Imam as-Suyuthi (w. 911 H);
3. Kitab Tanzih Asy-Syari’ah al-Marfu`ah ‘an
Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu`ah karya Ibnu ‘Arraq Al-Kanani (Lihat
Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 93).
Berikut akan saya jelaskan penilaian para ulama hadits
yang menjelaskan kepalsuan hadits “hubbul wathon minal iman”.
Dalam kitab Tahdzirul Muslimin karya Syaikh
al-Azhari asy-Syafi’i hal. 109 tersebut diterangkan, bahwa hadits “hubbul
wathon minal iman” adalah maudhu` (palsu). Demikianlah penilaian
Imam as-Sakhawi dan Imam ash-Shaghani.
Imam as-Sakhawi (w. 902 H) menerangkan kepalsuannya
dalam kitabnya al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits
al-Musytaharah ‘ala Alsinah, halaman 115.
Sementara Imam ash-Shaghani (w. 650 H) menerangkan
kepalsuannya dalam kitabnya Al-Maudhu’at, halaman 8.
Penilaian palsunya hadits tersebut juga dapat dirujuk
pada referensi-referensi (al-maraji’) lainnya sebagai berikut :
1. Kasyful Al-Khafa` wa Muziilu al-Ilbas, karya Imam
Al-‘Ajluni (w. 1162 H), Juz I hal. 423;
2. Ad-Durar Al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Masyhurah, karya Imam
Suyuthi (w. 911 H), hal. 74;
3. At-Tadzkirah fi al-Ahadits al-Musytaharah, karya Imam
Az-Zarkasyi (w. 794 H), hal. 11.
(Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul
Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin, hal. 109)
Menurut Abu Al Jauzaa dalam artikel yang menerangkan bahwa ada beberapa karya-karya
yang memuat hadits maudhu, antara lain:
a. Al-Maudlu’aat, karangan Ibnul-Jauzi - beliau
paling awal menuliskan ilmu ini.
b. Al-La’ali Al-Mashnu’ah fil-Ahaadits Al-Maudluu’ah, karya As-Suyuthi - merupakan ringkasan kitab Ibnul-Jauzi dengan beberapa
tambahan.
c. Tanzihusy-Syar’iyyah Al-Marfu’ah ‘anil-Ahaadits Asy-Syani’ah Al-Maudluu’ah, karya Ibnu ‘Iraq Al-Kittani - yang merupakan ringkasan dari kedua kitab
tersebut di atas.
d. Silsillah Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah wal-Maudluu’ah, karya Al-Albani
Para ulama sepakat bahwasannya
diharamkan meriwayatkan hadits maudhu dari orang yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali
disertai penjelasan akan kemaudhuannya,
berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang
menceritakan hadits dariku sedangkan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia
termasuk para pendusta.” (HR. Muslim).
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan, tim
penulis dapat menyimpulkan makalah yang berjudul “Hadits Maudhu” ini, yaitu
sebagai berikut:
1.
Pengertian
hadits maudhu mempunyai bermacam-macam pendapat, walaupun demikian dapat
ditarik kesimpulah bahwa hadits maudhu adalah hadis palsu yang dibuat oleh
seseorang dan disandarkan kepada nabi Muhammad saw. Adapun latar belakangnya
hadits maudhu tersebut hakikatnya adalah pembelaan atau pembencian terhadap
suatu golongan tertentu.
2.
Hadits
maudhu dapat diidentifikasi keberadaannya dengan mengetahuinya berdasarkan
metode-metode tertentu, misalnya mengetahui ciri-ciri yang terdapat pada sanad
dan matannya.
3.
Menyikapi
terhadap adanya hadits maudhu sangat beragam, ada sekelompok orang yang
menyikapinya dengan menerima tanpa pertimbangan tertentu, ada pula yang menerimanya
dengan berbagai catatan tertentu, bahkan ada pula yang tidak menerimanya sama
sekali.
DAFTAR FUSTAKA
Ahmad, Maqbul & Shalahuddin. 2002. Bahaya
Mengingkari Sunah. Pustaka Azzam: Jakarta.
Ahmad, Muhammad. & Mudzakir. 2000. Ulumul Hadits.
Pustaka Setia: Bandung.
al Jauzaa,
Abu. 2007. Ilmu Hadits.
Anonimous. 2000. Al-‘Aliyy Al-Qur’an dan
Terjemahnya. CV Penerbit Diponegoro: Bandung.
Hakim, Atang ABD, dkk. 2008. Metodologi Studi Islam.
PT Remaja Rosdakarya: Bandung.
Khon, Majid, dkk. 2005. Ulumul Hadits. Pusat Studi
Wanita (PSW) UIN Sunan Hidayatulah: Jakarta.
Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah Intelektual
Islam. Bulan Bintang: Jakarta.
Mudasir. 2007. Ilmu Hadits. Pustska Setia:
Bandung.
Rahman, Fathul. 1970. Ikhtisar Mushthalahu Al-
Hadits. PT Al-ma’rif: Djogyakarta.
Sodikin, Abuy & Badruzaman. 2000. Metodologi
Studi Islam. Tunas Nusantara. Bandung.
Soetari, Endang. 2005. Ilmu Hadits. Mimbar
Pustaka: Bandung.
Suparta, Munzier. 2006. Ilmu Hadits. Raya
Grafindo: Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar